Selasa, 14 Agustus 2012

TUA ITU INDAH

TUA ITU INDAH


Tua itu indah, Apakah kalimat ini hanya sekedar slogan, hiburan kosong atau mengada-ada? Fakta menunjukkan bahwa memang ada anak-anak Tuhan
yang mengalami masa tua yang indah.

Firman Tuhan dalam Mazmur 92:13-16 menyebutkan, "Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk (stay healthy - Holy Bible, Contemporary English Version) dan segar, untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya."

Wanita tua itu sehat dan segar, wajahnya teduh. ucapannya manis, usianya 74 tahun. Ia tinggal berdua dengan anaknya, seorang gadis pendiam yang kalau bicara agak gagap.

Pada hari Minggu mereka datang ke gereja dan membawa kue yang mereka buat untuk ditawarkan pada anggota-anggota gereja yang berminat.

Wanita ini setia ikut kebaktian, setia belajar Firman Tuhan di kelas lansia, sering menengok orang sakit.

Bila wanita ini memuji Tuhan pada persekutuan lansia, maka kita akan tahu bahwa ia bukan hanya menyanyi dari bibir mulutnya, tetapi bernyanyi dengan hatinya yang penuh rasa syukur dan penyerahan pada Tuhan.

Wanita ini menyatakan bahwa ia bahagia di dalam Tuhan. Tuhan selalu baik dan pertolongan-Nya selalu tepat waktu. Ia tidak mempunyai rumah,tetapi tinggal di rumah dua lantai yang indah di kawasan real estate ternama. Seorang keponakannya senang membeli rumah-rumah, merenovasi dan kemudian menjualnya. Jadi sambil menunggu rumah itu terjual, wanita ini dan anaknya boleh menempatinya. Bila sudah laku, maka mereka berdua dipindahkan ke rumah lain lagi yang sedang dipasarkan. Selama rumah belum laku, mereka bertugas membersihkan rumah dan merawat taman. Tidak usah memikirkan biaya listrik,PAM, telpon, iuran sampah, satpam karena semua itu ditanggung keponakannya.

Bukankah Tuhan kita Mahabesar? Ia tahu setiap kebutuhan anaknya. Tua itu indah bukan hiburan kosong. Ini hanya satu contoh. Masih banyak contoh lainnya. Para lansia yang hidup benar, ditanam di Bait Tuhan, senantiasa berharap kepada Tuhan, berserah dan bersyukur akan mengalami masa tua yang indah. Karena Tuhan itu baik, dulu, sekarang dan sampai selama-lamanya.

Tapak Mami

Tapak Mami


Suatu hari yang sibuk. Seorang ibu, di samping harus mengurus semua kegiatan rumah tangga, ia masih harus mengurus ke sepuluh anaknya. Namun saat-saat terakhir ini sang ibu merasa sangat capai. Dan semua kecapaiannya itu hanya diasalkan pada satu sumber yakni anak bungsunya yang bernama Len. Len kini berumur tiga tahun. Ke mana saja sang ibu itu pergi, apa saja yang sedang diperbuat oleh ibunya, Len pasti membuntutinya terus. Banyak kali sang ibu memohon agar Len bermain dengan boneka-boneka yang memang secara khusus dibelikan buatnya. Namun Len menjawab bahwa ia hanya ingin berada di belakang ibunya.

Setelah sekian lama sang ibu yang tadinya bersikap sabar dengan tingkah ulah Len, kini tak mampu lagi menahan pitamnya. Sang ibu membentaknya dan menyuruhnya untuk keluar dan bermain bersama kakak-kakaknya yang lain. Namun Len tetap saja membuntutinya.

'OK... sekarang saya tak mau lagi bekerja kalau engkau tetap saja membuntutiku.' Kata sang ibu sambil melototi si bungsu tersebut. 'Katakan padaku, mengapa engkau terus saja membuntuti aku?'

Len mengangkat wajahnya, sambil matanya yang mungil dan indah itu menatapi mata ibunya. Lalu ia berkata; ‘Mami... Guru di sekolah Minggu meminta agar kami senantiasa berjalan mengikuti tapak jalan yang ditinggalkan Yesus. Tapi saya tak pernah melihat Yesus. Karena itu saya memutuskan untuk mengikuti tapak Mami.’

Mendengar kata-kata yang polos itu, air mata menyembur dari mata sang ibu. Ia dilanda keharuan amat mendalam. Ia tidak lagi marah, namun sebaliknya merangkul Len yang baru tiga tahun itu sambil bersyukur berterima kasih memuji Tuhan atas rahmat yang diberikan dan diterima oleh wawasan Len yang sederhana itu.










Marilah kita untuk senantiasa seperti Maria berkata: ‘Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku’.

Tangan Ibuku

Tangan Ibuku
Beberapa tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru.

Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.

Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya, pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yangcantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian.

Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya.

Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata saya yang mengalir keluar tanpa saya sadari.

Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.

Perjalanan belanja telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.

Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya dan, yang membuatnya terkejut,memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tanganyang paling indah di dunia ini.

Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata saya yang baru betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, Segala ciptaan Allah yang begitu agung; Tetapi tak satu pun yang dapat menandingi Keindahan tangan ibu

Penantian Sang Ayah

Penantian Sang Ayah


Tersebutlah seorang ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi anaknya. Di suatu weekend, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar malam. Mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat beltnya karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang kembali, namun si anak tidak menurut.

Benar saja, di sebuah tikungan, sebuah mobil lain melaju kencang tak terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si ayah selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal, dan menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam di rumah sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat dan mendengar apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa memeluk erat anaknya, karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang bisa anaknya rasakan.

Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia senantiasa menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es, si ayah diam saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan memperparah demam anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa berjalan ke tempat yang hangat, namun si ayah menarik keras sampai melukai tangan si anak, karena ternyata tempat ‘hangat’ tersebut tidak jauh dari sebuah gedung yang terbakar hebat. Suatu kali anaknya kesal karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si anak sangat marah, namun sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya terbatas. Ingin rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah berkarat., namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat merasakan. Ia hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya hanya melakukan yang terbaik untuk anaknya.

Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia menjaganya.

Dia hanya bisa berdoa dan berharap, kalau suatu saat Tuhan boleh memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk mendoakan kesembuhan anaknya. Setiap hari.

Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi kicauan burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak itu berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yg tertidur di sampingnya. Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Tuhan telah mengabulkan doa sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan tangan sang ayah yg telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat sang ayah, sambil berkata. “Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau telah setia menjagaku.”

Papa Sedang Mengemudi

Papa Sedang Mengemudi


Seorang pembicara Dr. Wan menceritakan pengalamannya: Ketika ia dan seisi keluarga tinggal di Eropa, satu kali mereka hendak pergi ke Jerman, itu butuh 3 hari mengendarai mobil tanpa henti , siang dan malam. Maka, mereka sekeluarga masuk ke dalam mobil - dirinya, istrinya, dan anak perempuannya berumur 3 thn.
Anak perempuan kecil-nya ini belum pernah bepergian pada malam hari. Malam pertama di dalam mobil, ia ketakutan dengan kegelapan diluar sana.
"Mau kemana kita, papa?"
"Ke rumah paman, di Jerman."
"Papa pernah ke sana?"
"Belum"
"Papa tahu jalan ke sana?"
"Mungkin, kita dapat lihat peta."
[Diam sejenak] "Papa tahu cara membaca peta?"
"Ya, kita akan sampai dengan aman."
[Diam lagi] "Dimana kita makan kalau kita lapar nanti?"
"Kita bisa berhenti di restoran si pinggir jalan?"
"Papa tahu ada restoran di pinggir jalan?"
"Ya, ada."
"Papa tahu ada dimana?"
"Tidak, tapi kita akan menemukannya"
Dialog yang sama belangsung beberapa kali dalam malam pertama, dan juga pada malam kedua. Tapi pada malam ketiga, anak perempuannya ini diam. Pembicara berpikir mungkin dia telah tidur, tapi ketika ia melihat ke cermin, ia melihat anak itu masih bangun dan hanya melihat-lihat ke sekeliling dengan tenang.
Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa anak perempuan kecil ini tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan lagi. "Sayang, kamu tahu kemana kita pergi?""
"Jerman, rumah paman."
"Kamu tahu bagaimana kita akan sampai ke sana?"
"Tidak"
"Terus kenapa kamu tidak bertanya lagi?"
"Karena papa sedang mengemudi."

Karena papa sedang mengemudi. Jawaban dari anak perempuan kecil berumur 3 tahun ini kemudian menjadi kekuatan dan pertolongan bagi si pembicara selama bertahun-tahun, ketika dia mempunyai pertanyaan-pertanyaan dan ketakutan-ketakutan dalam perjalanannya bersama Tuhan.

Ya, Bapa kita sedang mengemudi. Kita mungkin tahu tujuan kita (kadang-kadang kita tahu seperti anak kecil "Jerman" -- tanpa mengerti dimana atau apa itu sebenarnya).

Kita tidak tahu jalan ke sana, kita tidak dapat membaca peta, kita tidak tahu apakah kita akan menemukan rumah makan sepanjang perjalanan.

Tapi gadis kecil ini tahu hal terpenting Papa sedang mengemudi dan dia aman. Dia tahu papanya akan menyediakan semua yang dia butuhkan. Kenalkan engkau Papa mu, Gembala Agung, sedang mengemudi hari ini? Apa sikap dan responmu sebagai seorang penumpang, anakNya yang dikasihiNya ? Kita mungkin telah menanyakan terlalu banyak pertanyaan sebelumnya, tapi kita dapat menjadi anak kecil itu, belajar menyadari fokus terpenting adalah "Papa sedang mengemudi".

Tuhan adalah gembala kita. "Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN." Mazmur 9:10 "Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka." Wahyu 9:17

Membangun Tempat Tinggal di Surga

Membangun Tempat Tinggal di Surga

Sebuah kisah tentang seorang ibu yang selama hidupnya berenang dalam gaya hidup yang mewah. Ia memiliki sebuah rumah yang besar, para pembantu yang banyak, mobil yang tidak hanya nampak indah tetapi juga mahal. Ia sungguh menikmati hidupnya.

Kendatipun ia begitu kaya, pada akhirnya ia meninggal juga. Ketika tiba di gerbang surga, ia dihantar oleh seorang malaekat menuju rumah penginapannya yang abadi di surga. Mereka melewati istana megah, indah dan mewah. Wanita tersebut berpikir bahwa rumah tersebutlah yang akan menjadi tempat di mana ia akan menikmati kebahagiaan abadi di surga. Namun di luar dugaannya, sang malaekat membawanya melewati istana tersebut. Sang wanita mulai berkhayal bahwa sebuah rumah lain yang lebih indah dan mewah dari istana ini sedang menanti dirinya.

Anehnya, mereka kini telah meninggalkan jalan utama yang besar dan memasuki sebuah lorong yang kecil dan pengap. Rumah-rumah di sekitar tempat ini nampak kecil dan amat sederhana. Namun perjalanan mereka masih belum berhenti di tempat ini. Sang malaekat masih membawanya meninggalkan jalan kecil ini memasuki gang sempit dan penuh lumpur. Akhirnya mereka tiba di ujung gang tersebut, di sebuah gubuk reyot yang amat kotor. Bau pengap kini menusuk hidung.

"Inilah tempat kediamanmu yang abadi di surga ini. Engkau akan menetap di sini sampai selama-lamanya." Kata sang malaekat itu.

"Tidak mungkin... Tidak mungkin saya bisa hidup di tempat seperti ini." Demikian protes sang perempuan tersebut. "Apakah anda tidak keliru membawa saya ke tempat ini?"

Dengan tenang dan penuh ramah sang malaekat berkata, "Kami hanya bisa membangun tempat penginapan di surga sesuai dengan berapa besar dana yang dikirimkan selama seseorang masih hidup di dunia. Dana yang anda kirimkan selama anda masih hidup di dunia hanya bisa dipakai untuk membangun gubuk sederhana ini. Terimalah, inilah satu-satunya harta kekayaanmu di surga."
-------------
Hidup kita yang singkat di dunia ini akan menentukan kehidupan kita kelak yang abadi nan kekal. Mari kita mengumpulkan harta di surga selagi masih berada di dunia ini.

"Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Luk 12:33-34)

Kulihat Tuhan Di Matanya

Kulihat Tuhan Di Matanya


“Shall we go for luch?”; Kata teman kantorku sambil berdiri didepan pintu ruangan tempat aku bekerja. ”Emh duluan aja deh, aku gak ikut, aku mau ke bank dulu, terus mau ke apotik”. Kataku. Hari jumat adalah tradisi kami untuk makan enak di City loft, tempat kami mencoba menu2 baru serta makanan yang kata orang enak.

Hari ini aku memang berniat untuk pergi ke ATM di gedung seberang yang letaknya dipisahkan oleh jalan Sudirman. Untuk sampai kesana aku harus melewati sebuah tangga penyebrangan yang menghubungkan antara dua sisi jalan yang bersebrangan.

Setiap hari aku memang selalu melewati tangga itu saat pulang kerja, dan menunggu bis di seberang jalan sana yang akan membawaku pulang. Ditangga itu selalu ku jumpai pengemis ibu2 berusia sekitar 30 tahunan yang selalu duduk mangkal disitu. Aku melihatnya sejak dia hamil tua, aku terkadang memberi dia uang receh saat melintas dihadapannya karena merasa iba.

Sekitar 3 minggu yang lalu aku melihatnya sudah melahirkan, dan dia masih mangkal disitu dengan bayi merahnya. Terkadang aku menaruh uang ribuan di wadah plastik yang ditaruh di hadapannya. Aku kadang berpikir kok tega banget ibu itu bawa bayi sekecil itu buat ngemis.

Dalam perjalanan menuju ke ATM, aku pun melewati tempat si ibu itu mangkal dan aku melihat ibu itu tengah membersihkan koreng2 di tangan bayi kecilnya. Betapa menyedihkan, bayi kecil yang harusnya mendapatkan perawatan yang khusus malah ikut berpanas-panasan dan diterpa debu jalanan, tak heran kulitnya mengalami iritasi dan dipenuhi koreng2. Hatiku terenyuh melihatnya, namun dalam batinku ada juga bisikan yang melarang untuk memberinya uang, ntar dia keenakan terus.

Aku memang menyiapkan selembar lima ribuan ketika aku selesai mengambil uang di ATM, namun pikiranku masih berkecamuk antara memberi dan tidak. Kenapa aku harus selalu peduli, orang miskin selalu ada disekitar kita, biar lah Tuhan sendiri mengutus malaikatNya untuk menolongnya. Kenapa si ibu itu gak kerja saja, kenapa dia hanya minta2 dan mengandalkan belas kasihan orang saja? Gak usah diberi saja biar dia dapat pelajaran.

Namun ketika aku lewat dihadapannya dan si ibu yang tadinya menunduk sambil membersihkan koreng2 ditangan bayinya tengadah dan aku yang sedang memperhatikan bayinya jadi terperangah sesaat karena tatapan kami beradu, aku melihat kepiluan dimata si Ibu itu, anaknya yang tanpa dosa harus hadir di dunia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, aku pun tak kuasa melihatnya,sekilas kuteringat pada bayi kecil Yesus dipalungan di kandang domba Betlehem.

Ku keluarkan selembar lima ribuan yang memang telah kusiapkan dan ku taruh di gelas plastik tersebut. Dalam hati aku berkata aku tak akan lagi menahan kebaikan, biarlah aku tetap menjadi saluran berkat bagi orang lain, biarlah aku jadi malaikat penolong untuknya. Yang dia perlukan saat ini adalah uluran tangan, bukan argumentasi.