Selasa, 14 Agustus 2012

TUA ITU INDAH

TUA ITU INDAH


Tua itu indah, Apakah kalimat ini hanya sekedar slogan, hiburan kosong atau mengada-ada? Fakta menunjukkan bahwa memang ada anak-anak Tuhan
yang mengalami masa tua yang indah.

Firman Tuhan dalam Mazmur 92:13-16 menyebutkan, "Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon; mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita. Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk (stay healthy - Holy Bible, Contemporary English Version) dan segar, untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya."

Wanita tua itu sehat dan segar, wajahnya teduh. ucapannya manis, usianya 74 tahun. Ia tinggal berdua dengan anaknya, seorang gadis pendiam yang kalau bicara agak gagap.

Pada hari Minggu mereka datang ke gereja dan membawa kue yang mereka buat untuk ditawarkan pada anggota-anggota gereja yang berminat.

Wanita ini setia ikut kebaktian, setia belajar Firman Tuhan di kelas lansia, sering menengok orang sakit.

Bila wanita ini memuji Tuhan pada persekutuan lansia, maka kita akan tahu bahwa ia bukan hanya menyanyi dari bibir mulutnya, tetapi bernyanyi dengan hatinya yang penuh rasa syukur dan penyerahan pada Tuhan.

Wanita ini menyatakan bahwa ia bahagia di dalam Tuhan. Tuhan selalu baik dan pertolongan-Nya selalu tepat waktu. Ia tidak mempunyai rumah,tetapi tinggal di rumah dua lantai yang indah di kawasan real estate ternama. Seorang keponakannya senang membeli rumah-rumah, merenovasi dan kemudian menjualnya. Jadi sambil menunggu rumah itu terjual, wanita ini dan anaknya boleh menempatinya. Bila sudah laku, maka mereka berdua dipindahkan ke rumah lain lagi yang sedang dipasarkan. Selama rumah belum laku, mereka bertugas membersihkan rumah dan merawat taman. Tidak usah memikirkan biaya listrik,PAM, telpon, iuran sampah, satpam karena semua itu ditanggung keponakannya.

Bukankah Tuhan kita Mahabesar? Ia tahu setiap kebutuhan anaknya. Tua itu indah bukan hiburan kosong. Ini hanya satu contoh. Masih banyak contoh lainnya. Para lansia yang hidup benar, ditanam di Bait Tuhan, senantiasa berharap kepada Tuhan, berserah dan bersyukur akan mengalami masa tua yang indah. Karena Tuhan itu baik, dulu, sekarang dan sampai selama-lamanya.

Tapak Mami

Tapak Mami


Suatu hari yang sibuk. Seorang ibu, di samping harus mengurus semua kegiatan rumah tangga, ia masih harus mengurus ke sepuluh anaknya. Namun saat-saat terakhir ini sang ibu merasa sangat capai. Dan semua kecapaiannya itu hanya diasalkan pada satu sumber yakni anak bungsunya yang bernama Len. Len kini berumur tiga tahun. Ke mana saja sang ibu itu pergi, apa saja yang sedang diperbuat oleh ibunya, Len pasti membuntutinya terus. Banyak kali sang ibu memohon agar Len bermain dengan boneka-boneka yang memang secara khusus dibelikan buatnya. Namun Len menjawab bahwa ia hanya ingin berada di belakang ibunya.

Setelah sekian lama sang ibu yang tadinya bersikap sabar dengan tingkah ulah Len, kini tak mampu lagi menahan pitamnya. Sang ibu membentaknya dan menyuruhnya untuk keluar dan bermain bersama kakak-kakaknya yang lain. Namun Len tetap saja membuntutinya.

'OK... sekarang saya tak mau lagi bekerja kalau engkau tetap saja membuntutiku.' Kata sang ibu sambil melototi si bungsu tersebut. 'Katakan padaku, mengapa engkau terus saja membuntuti aku?'

Len mengangkat wajahnya, sambil matanya yang mungil dan indah itu menatapi mata ibunya. Lalu ia berkata; ‘Mami... Guru di sekolah Minggu meminta agar kami senantiasa berjalan mengikuti tapak jalan yang ditinggalkan Yesus. Tapi saya tak pernah melihat Yesus. Karena itu saya memutuskan untuk mengikuti tapak Mami.’

Mendengar kata-kata yang polos itu, air mata menyembur dari mata sang ibu. Ia dilanda keharuan amat mendalam. Ia tidak lagi marah, namun sebaliknya merangkul Len yang baru tiga tahun itu sambil bersyukur berterima kasih memuji Tuhan atas rahmat yang diberikan dan diterima oleh wawasan Len yang sederhana itu.










Marilah kita untuk senantiasa seperti Maria berkata: ‘Jiwaku memuliakan Tuhan, dan hatiku bergembira karena Allah, Juruselamatku’.

Tangan Ibuku

Tangan Ibuku
Beberapa tahun yang lalu, ketika ibu saya berkunjung, ia mengajak saya untuk berbelanja bersamanya karena dia membutuhkan sebuah gaun yang baru.

Saya sebenarnya tidak suka pergi berbelanja bersama dengan orang lain, dan saya bukanlah orang yang sabar, tetapi walaupun demikian kami berangkat juga ke pusat perbelanjaan tersebut.

Kami mengunjungi setiap toko yang menyediakan gaun wanita, dan ibu saya mencoba gaun demi gaun dan mengembalikan semuanya. Seiring hari yang berlalu, saya mulai lelah dan ibu saya mulai frustasi. Akhirnya, pada toko terakhir yang kami kunjungi, ibu saya mencoba satu stel gaun biru yangcantik terdiri dari tiga helai. Pada blusnya terdapat sejenis tali di bagian tepi lehernya, dan karena ketidaksabaran saya, maka untuk kali ini saya ikut masuk dan berdiri bersama ibu saya dalam ruang ganti pakaian.

Saya melihat bagaimana ia mencoba pakaian tersebut, dan dengan susah mencoba untuk mengikat talinya.Ternyata tangan-tangannya sudah mulai dilumpuhkan oleh penyakit radang sendi dan sebab itu dia tidak dapat melakukannya.

Seketika ketidaksabaran saya digantikan oleh suatu rasa kasihan yang dalam kepadanya. Saya berbalik pergi dan mencoba menyembunyikan air mata saya yang mengalir keluar tanpa saya sadari.

Setelah saya mendapatkan ketenangan lagi, saya kembali masuk ke kamar ganti untuk mengikatkan tali gaun tersebut. Pakaian ini begitu indah, dan dia membelinya.

Perjalanan belanja telah berakhir, tetapi kejadian tersebut terukir dan tidak dapat terlupakan dari ingatan saya. Sepanjang sisa hari itu, pikiran saya tetap saja kembali pada saat berada di dalam ruang ganti pakaian tersebut dan terbayang tangan ibu saya yang sedang berusaha mengikat tali blusnya. Kedua tangan yang penuh dengan kasih, yang pernah menyuapi saya, memandikan saya, memakaikan baju, membelai dan memeluk saya, dan terlebih dari semuanya, berdoa untuk saya, sekarang tangan itu telah menyentuh hati saya dengan cara yang paling membekas dalam hati saya.

Kemudian pada sore harinya, saya pergi ke kamar ibu saya, mengambil tangannya, menciumnya dan, yang membuatnya terkejut,memberitahukannya bahwa bagi saya kedua tangan tersebut adalah tanganyang paling indah di dunia ini.

Saya sangat bersyukur bahwa Tuhan telah membuat saya dapat melihat dengan mata saya yang baru betapa bernilai dan berharganya kasih sayang yang penuh pengorbanan dari seorang ibu. Saya hanya dapat berdoa bahwa suatu hari kelak tangan saya dan hati saya akan memiliki keindahannya tersendiri.

Dunia ini memiliki banyak keajaiban, Segala ciptaan Allah yang begitu agung; Tetapi tak satu pun yang dapat menandingi Keindahan tangan ibu

Penantian Sang Ayah

Penantian Sang Ayah


Tersebutlah seorang ayah yang mempunyai anak. Ayah ini sangat menyayangi anaknya. Di suatu weekend, si ayah mengajak anaknya untuk pergi ke pasar malam. Mereka pulang sangat larut. Di tengah jalan, si anak melepas seat beltnya karena merasa tidak nyaman. Si ayah sudah menyuruhnya memasang kembali, namun si anak tidak menurut.

Benar saja, di sebuah tikungan, sebuah mobil lain melaju kencang tak terkendali. Ternyata pengemudinya mabuk. Tabrakan tak terhindarkan. Si ayah selamat, namun si anak terpental keluar. Kepalanya membentur aspal, dan menderita gegar otak yang cukup parah. Setelah berapa lama mendekam di rumah sakit, akhirnya si anak siuman. Namun ia tidak dapat melihat dan mendengar apapun. Buta tuli. Si ayah dengan sedih, hanya bisa memeluk erat anaknya, karena ia tahu hanya sentuhan dan pelukan yang bisa anaknya rasakan.

Begitulah kehidupan sang ayah dan anaknya yang buta-tuli ini. Dia senantiasa menjaga anaknya. Suatu saat si anak kepanasan dan minta es, si ayah diam saja. Sebab ia melihat anaknya sedang demam, dan es akan memperparah demam anaknya. Di suatu musim dingin, si anak memaksa berjalan ke tempat yang hangat, namun si ayah menarik keras sampai melukai tangan si anak, karena ternyata tempat ‘hangat’ tersebut tidak jauh dari sebuah gedung yang terbakar hebat. Suatu kali anaknya kesal karena ayahnya membuang liontin kesukaannya. Si anak sangat marah, namun sang ayah hanya bisa menghela nafas. Komunikasinya terbatas. Ingin rasanya ia menjelaskan bahwa liontin yang tajam itu sudah berkarat., namun apa daya si anak tidak dapat mendengar, hanya dapat merasakan. Ia hanya bisa berharap anaknya sepenuhnya percaya kalau papanya hanya melakukan yang terbaik untuk anaknya.

Saat-saat paling bahagia si ayah adalah saat dia mendengar anaknya mengutarakan perasaannya, isi hatinya. Saat anaknya mendiamkan dia, dia merasa tersiksa, namun ia senantiasa berada disamping anaknya, setia menjaganya.

Dia hanya bisa berdoa dan berharap, kalau suatu saat Tuhan boleh memberi mujizat. Setiap hari jam 4 pagi, dia bangun untuk mendoakan kesembuhan anaknya. Setiap hari.

Beberapa tahun berlalu. Di suatu pagi yang cerah, sayup-sayup bunyi kicauan burung membangunkan si anak. Ternyata pendengarannya pulih! Anak itu berteriak kegirangan, sampai mengejutkan si ayah yg tertidur di sampingnya. Kemudian disusul oleh pengelihatannya. Ternyata Tuhan telah mengabulkan doa sang ayah. Melihat rambut ayahnya yang telah memutih dan tangan sang ayah yg telah mengeras penuh luka, si anak memeluk erat sang ayah, sambil berkata. “Ayah, terima kasih ya, selama ini engkau telah setia menjagaku.”

Papa Sedang Mengemudi

Papa Sedang Mengemudi


Seorang pembicara Dr. Wan menceritakan pengalamannya: Ketika ia dan seisi keluarga tinggal di Eropa, satu kali mereka hendak pergi ke Jerman, itu butuh 3 hari mengendarai mobil tanpa henti , siang dan malam. Maka, mereka sekeluarga masuk ke dalam mobil - dirinya, istrinya, dan anak perempuannya berumur 3 thn.
Anak perempuan kecil-nya ini belum pernah bepergian pada malam hari. Malam pertama di dalam mobil, ia ketakutan dengan kegelapan diluar sana.
"Mau kemana kita, papa?"
"Ke rumah paman, di Jerman."
"Papa pernah ke sana?"
"Belum"
"Papa tahu jalan ke sana?"
"Mungkin, kita dapat lihat peta."
[Diam sejenak] "Papa tahu cara membaca peta?"
"Ya, kita akan sampai dengan aman."
[Diam lagi] "Dimana kita makan kalau kita lapar nanti?"
"Kita bisa berhenti di restoran si pinggir jalan?"
"Papa tahu ada restoran di pinggir jalan?"
"Ya, ada."
"Papa tahu ada dimana?"
"Tidak, tapi kita akan menemukannya"
Dialog yang sama belangsung beberapa kali dalam malam pertama, dan juga pada malam kedua. Tapi pada malam ketiga, anak perempuannya ini diam. Pembicara berpikir mungkin dia telah tidur, tapi ketika ia melihat ke cermin, ia melihat anak itu masih bangun dan hanya melihat-lihat ke sekeliling dengan tenang.
Dia bertanya-tanya dalam hati, kenapa anak perempuan kecil ini tidak menanyakan pertanyaan-pertanyaan lagi. "Sayang, kamu tahu kemana kita pergi?""
"Jerman, rumah paman."
"Kamu tahu bagaimana kita akan sampai ke sana?"
"Tidak"
"Terus kenapa kamu tidak bertanya lagi?"
"Karena papa sedang mengemudi."

Karena papa sedang mengemudi. Jawaban dari anak perempuan kecil berumur 3 tahun ini kemudian menjadi kekuatan dan pertolongan bagi si pembicara selama bertahun-tahun, ketika dia mempunyai pertanyaan-pertanyaan dan ketakutan-ketakutan dalam perjalanannya bersama Tuhan.

Ya, Bapa kita sedang mengemudi. Kita mungkin tahu tujuan kita (kadang-kadang kita tahu seperti anak kecil "Jerman" -- tanpa mengerti dimana atau apa itu sebenarnya).

Kita tidak tahu jalan ke sana, kita tidak dapat membaca peta, kita tidak tahu apakah kita akan menemukan rumah makan sepanjang perjalanan.

Tapi gadis kecil ini tahu hal terpenting Papa sedang mengemudi dan dia aman. Dia tahu papanya akan menyediakan semua yang dia butuhkan. Kenalkan engkau Papa mu, Gembala Agung, sedang mengemudi hari ini? Apa sikap dan responmu sebagai seorang penumpang, anakNya yang dikasihiNya ? Kita mungkin telah menanyakan terlalu banyak pertanyaan sebelumnya, tapi kita dapat menjadi anak kecil itu, belajar menyadari fokus terpenting adalah "Papa sedang mengemudi".

Tuhan adalah gembala kita. "Orang yang mengenal nama-Mu percaya kepada-Mu, sebab tidak Kautinggalkan orang yang mencari Engkau, ya TUHAN." Mazmur 9:10 "Sebab Anak Domba yang di tengah-tengah takhta itu, akan menggembalakan mereka dan akan menuntun mereka ke mata air kehidupan. Dan Allah akan menghapus segala air mata dari mata mereka." Wahyu 9:17

Membangun Tempat Tinggal di Surga

Membangun Tempat Tinggal di Surga

Sebuah kisah tentang seorang ibu yang selama hidupnya berenang dalam gaya hidup yang mewah. Ia memiliki sebuah rumah yang besar, para pembantu yang banyak, mobil yang tidak hanya nampak indah tetapi juga mahal. Ia sungguh menikmati hidupnya.

Kendatipun ia begitu kaya, pada akhirnya ia meninggal juga. Ketika tiba di gerbang surga, ia dihantar oleh seorang malaekat menuju rumah penginapannya yang abadi di surga. Mereka melewati istana megah, indah dan mewah. Wanita tersebut berpikir bahwa rumah tersebutlah yang akan menjadi tempat di mana ia akan menikmati kebahagiaan abadi di surga. Namun di luar dugaannya, sang malaekat membawanya melewati istana tersebut. Sang wanita mulai berkhayal bahwa sebuah rumah lain yang lebih indah dan mewah dari istana ini sedang menanti dirinya.

Anehnya, mereka kini telah meninggalkan jalan utama yang besar dan memasuki sebuah lorong yang kecil dan pengap. Rumah-rumah di sekitar tempat ini nampak kecil dan amat sederhana. Namun perjalanan mereka masih belum berhenti di tempat ini. Sang malaekat masih membawanya meninggalkan jalan kecil ini memasuki gang sempit dan penuh lumpur. Akhirnya mereka tiba di ujung gang tersebut, di sebuah gubuk reyot yang amat kotor. Bau pengap kini menusuk hidung.

"Inilah tempat kediamanmu yang abadi di surga ini. Engkau akan menetap di sini sampai selama-lamanya." Kata sang malaekat itu.

"Tidak mungkin... Tidak mungkin saya bisa hidup di tempat seperti ini." Demikian protes sang perempuan tersebut. "Apakah anda tidak keliru membawa saya ke tempat ini?"

Dengan tenang dan penuh ramah sang malaekat berkata, "Kami hanya bisa membangun tempat penginapan di surga sesuai dengan berapa besar dana yang dikirimkan selama seseorang masih hidup di dunia. Dana yang anda kirimkan selama anda masih hidup di dunia hanya bisa dipakai untuk membangun gubuk sederhana ini. Terimalah, inilah satu-satunya harta kekayaanmu di surga."
-------------
Hidup kita yang singkat di dunia ini akan menentukan kehidupan kita kelak yang abadi nan kekal. Mari kita mengumpulkan harta di surga selagi masih berada di dunia ini.

"Buatlah bagimu pundi-pundi yang tidak dapat menjadi tua, suatu harta di sorga yang tidak akan habis, yang tidak dapat didekati pencuri dan yang tidak dirusakkan ngengat. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada." (Luk 12:33-34)

Kulihat Tuhan Di Matanya

Kulihat Tuhan Di Matanya


“Shall we go for luch?”; Kata teman kantorku sambil berdiri didepan pintu ruangan tempat aku bekerja. ”Emh duluan aja deh, aku gak ikut, aku mau ke bank dulu, terus mau ke apotik”. Kataku. Hari jumat adalah tradisi kami untuk makan enak di City loft, tempat kami mencoba menu2 baru serta makanan yang kata orang enak.

Hari ini aku memang berniat untuk pergi ke ATM di gedung seberang yang letaknya dipisahkan oleh jalan Sudirman. Untuk sampai kesana aku harus melewati sebuah tangga penyebrangan yang menghubungkan antara dua sisi jalan yang bersebrangan.

Setiap hari aku memang selalu melewati tangga itu saat pulang kerja, dan menunggu bis di seberang jalan sana yang akan membawaku pulang. Ditangga itu selalu ku jumpai pengemis ibu2 berusia sekitar 30 tahunan yang selalu duduk mangkal disitu. Aku melihatnya sejak dia hamil tua, aku terkadang memberi dia uang receh saat melintas dihadapannya karena merasa iba.

Sekitar 3 minggu yang lalu aku melihatnya sudah melahirkan, dan dia masih mangkal disitu dengan bayi merahnya. Terkadang aku menaruh uang ribuan di wadah plastik yang ditaruh di hadapannya. Aku kadang berpikir kok tega banget ibu itu bawa bayi sekecil itu buat ngemis.

Dalam perjalanan menuju ke ATM, aku pun melewati tempat si ibu itu mangkal dan aku melihat ibu itu tengah membersihkan koreng2 di tangan bayi kecilnya. Betapa menyedihkan, bayi kecil yang harusnya mendapatkan perawatan yang khusus malah ikut berpanas-panasan dan diterpa debu jalanan, tak heran kulitnya mengalami iritasi dan dipenuhi koreng2. Hatiku terenyuh melihatnya, namun dalam batinku ada juga bisikan yang melarang untuk memberinya uang, ntar dia keenakan terus.

Aku memang menyiapkan selembar lima ribuan ketika aku selesai mengambil uang di ATM, namun pikiranku masih berkecamuk antara memberi dan tidak. Kenapa aku harus selalu peduli, orang miskin selalu ada disekitar kita, biar lah Tuhan sendiri mengutus malaikatNya untuk menolongnya. Kenapa si ibu itu gak kerja saja, kenapa dia hanya minta2 dan mengandalkan belas kasihan orang saja? Gak usah diberi saja biar dia dapat pelajaran.

Namun ketika aku lewat dihadapannya dan si ibu yang tadinya menunduk sambil membersihkan koreng2 ditangan bayinya tengadah dan aku yang sedang memperhatikan bayinya jadi terperangah sesaat karena tatapan kami beradu, aku melihat kepiluan dimata si Ibu itu, anaknya yang tanpa dosa harus hadir di dunia dalam kondisi yang sangat memprihatinkan, aku pun tak kuasa melihatnya,sekilas kuteringat pada bayi kecil Yesus dipalungan di kandang domba Betlehem.

Ku keluarkan selembar lima ribuan yang memang telah kusiapkan dan ku taruh di gelas plastik tersebut. Dalam hati aku berkata aku tak akan lagi menahan kebaikan, biarlah aku tetap menjadi saluran berkat bagi orang lain, biarlah aku jadi malaikat penolong untuknya. Yang dia perlukan saat ini adalah uluran tangan, bukan argumentasi.

Maria Diangkat Ke Surga

Maria Diangkat Ke Surga
Berapa hari telah berlalu ? Sulit untuk memastikannya. Apabila melihat karangan-karangan bunga disekitar tubuhnya, orang akan mengatakan bahwa kematiannya baru berlalu beberapa jam saja. Akan tetapi bila melihat ranting-ranting zaitun yang bunga-bunganya masih segar, namun daun-daunnya telah mulai melayu, dan bunga-bunga lain yang menutupi dadanya mulai melayu, orang akan mengatakan bahwa kematiannya telah berlangsung beberapa hari yang lalu.

Akan tetapi tubuh Bunda Maria tetap sama seperti ketika Bunda menghembuskan nafasnya yang terakhir ; tidak ada tanda-tanda kematian yang tampak pada wajahnya ataupun pada tangannya. Tidak ada bau busuk di dalam ruangan. Sebaliknya suatu aroma wangi yang tak dapat dijelaskan, seperti harumnya bunga sedap malam, mawar, lily di dalam lembah, tumbuh-tumbuhan di pegunungan, semua bercampur menjadi satu memenuhi ruangan.

Yohanes, yang telah berjaga entah berapa hari, jatuh tertidur karena letihnya, duduk di bangku dan bahunya bersandar di tembok, dekat pintu yang terbuka menghadap ke teras. Cahaya lampu yang ada dibawah menerangi wajahnya, hingga setiap orang dapat melihat wajahnya yang letih, pucat-pasi, kecuali di sekitar matanya, yang memerah karena tangis.

Hari telah menjelang fajar saat itu, cahaya remang-remang tampak di teras dan pohon-pohon zaitun di sekeliling rumah mulai tampak, cahaya yang semakin terang dan menerabas pintu menimpa benda-benda di dalam ruangan menjadikannya semakin tampak jelas, termasuk yang sebelumnya tidak jelas dan tampak samar-samar.

Tiba-tiba cahaya yang sangat kuat sekali memenuhi ruangan, cahaya keperak-perakan dengan bayang-bayang kebiruan, hampir menyerupai fosfor; dan cahaya itu semakin terang saja dan mengalahkan cahaya fajar pagi dan lampu. Suatu cahaya yang menyerupai cahaya yang memenuhi Gua di Betlehem pada saat kelahiran Tuhan. Lalu didalam cahaya sorgawi ini, yang lebih terang dari cahaya yang terlebih dahulu ada, tampillah Malaikat-Malaikat. Seperti apa yang pernah terjadi ketika para Malaikat menampakkan diri kepada para gembala, percikan cahaya memancar dari sayap-sayapnya, berputar-putar demikian indahnya, yang mengeluarkan suara yang demikian indah, seindah suara bunyi harpa.

Para Malaikat menempatkan diri di sekeliling ranjang, membungkuk, lalu mengangkat tubuh yang tak bergerak itu, dan sambil mengepakkan sayapnya dengan anggunnya, yang menimbulkan suara indah, melebihi suara sebelumnya yang telah terdengar. Secara mengagumkan sebuah celah terbuka di atap, seperti ketika makam Yesus secara mengagumkan terbuka, dan para Malaikat itu membawa pergi Tubuh Ratu mereka, Tubuh yang amat kudus; kepakan sayap para Malaikat terdengar semakin keras dan kini suara itu menjadi sekeras suara organ. Yohanes, yang pada saat itu masih tertidur, menggeliat dua atau tiga kali di bangkunya, seolah ia terganggu oleh cahaya yang kuat dan oleh suara kepakan sayap Malaikat, segera terbangunkan oleh suara keras itu dan oleh arus angin yang keras, yang turun dari lubang pada atap dan bertiup keluar melalui pintu dengan derasnya laksana angin puting-beliung, yang menyebabkan sprei ranjang yang telah kosong itu dan pakaian Yohanes menjadi awut-awutan, lampu padam dan daun pintu terhempas menutup dengan suara menggelegar.

Yohanes melihat ke sekeliling, masih setengah tidur, setengah sadar akan apa yang telah terjadi. Ia melihat bahwa ranjang telah kosong dan bahwa atap terbuka. Ia sadar bahwa telah terjadi peristiwa yang sangat mengagumkan. Ia lari keluar ke teras, dan seolah didorong oleh naluri spiritual, atau oleh panggilan surgawi, ia menengadah ke langit, menutupi matanya dari silau matahari, agar dapat melihat. Dan ia melihat. Ia melihat Tubuh Bunda Maria, masih dalam keadaan mati, dan persis seperti orang tidur, ditatang oleh para Malaikat. Naik semakin tinggi dan semakin tinggi saja. Sebagai tanda selamat jalan, pelisir jubah dan kerudungnya tampak melambai-lambai oleh angin, mungkin karena kencangnya pengangkatan dan oleh gerak sayap para malaikat. Dan bunga-bunga yang diletakkan Yohanes disekitar Tubuh Bunda Maria, dan yang tentu saja terselip disana-sini dalam lipatan-lipatan busananya, berjatuhan di teras dan di taman Getsemani laksana hujan, sementara diiringi kidung-kidung pujian para Malaikat itu terus bergerak maju, semakin jauh dan semakin tampak samar-samar.

Yohanes tetap terpaku memandang ke arah Tubuh yang diangkat menuju Surga dan, berkat rahmat khusus yang dikaruniakan Allah sebagai imbalan atas cinta kasihnya kepada ibu angkatnya, ia dapat melihat dengan jelas Bunda Maria, yang diliputi oleh cahaya matahari yang sedang terbit, sadar dari ekstasi yang memisahkan jiwa dari raganya, menjadi hidup, berdiri tegak menikmati karunia tubuh yang telah dimuliakan.

Yohanes melihat dan terus melihat. Mukjizat yang dikaruniakan Allah kepadanya membuat ia mampu melawan segala hukum alam, melihat Bunda Maria seperti apa adanya sekarang, selagi Ia dengan cepatnya naik ke surga, tanpa perlu dibantu lagi, dikelilingi oleh para Malaikat yang menyanyikan hosanna. Dan Yohanes dikuasai oleh keindahan yang tak pernah akan dapat dilukiskan dengan pena maupun kata-kata, atau oleh seorang seniman terkemuka sekalipun, karena demikian indahnya.

Yohanes masih tetap bersandar pada tembok rendah teras, terus saja memandang cahaya yang demikian megah, dibentuk oleh Allah, naik semakin tinggi saja. Bunda Maria memang dapat demikian keadaannya karena dibentuk secara khusus oleh Allah, yang menghendaki Bunda Maria Tak Bernoda, agar Ia dapat layak menjadi tempat penjelmaan Sang Sabda. Dan cinta kasih Allah menganugerahkan kepada murid terkasihNya suatu mukjizat agar dapar menyaksikan pertemuan Ibu Yang Terberkati dengan PuteraNya Yang Maha Kudus, yang dengan megahnya dan bersinar diselimuti oleh keindahan yang tak terlukiskan, turun dengan cepatnya dari Surga menyongsong IbuNya, memeluknya dan melekatkannya pada HatiNya, dan bersama-sama, dengan terang yang melebihi cahaya dua bintang besar bersama-sama, dan akan kembali kelak bersama bila Sang Putra datang kembali.

Penampakan pada Yohanes selesailah sudah. Kepalanya tertunduk. Pada wajahnya yang memerah tampak kesedihannya karena kehilangan Bunda Maria sekaligus kebahagiaannya atas kemuliaan yang diraih Ibunya, namun kebahagiaan itu mengalahkan kesedihannya.

Katanya : "Terima kasih, ya Allahku, terima kasih. Aku telah melihat sebelumnya bahwa hal ini akan terjadi. Dan aku ingin tetap berjaga agar tidak kehilangan sedikitpun dari peristiwa pengangkatannya. Akan tetapi, telah tiga hari tiga malam aku tidak tidur. kantuk, letih bersatu dengan kesedihan menimpaku dan menyerangku tepat saat pengangkatan itu terjadi. Akan tetapi, mungkin sekali Engkau menghendaki, ya Engkau sendiri, ya Allah, agar aku tidak kacau pada saat itu dan agar aku tidak menderita terlalu banyak... ya, sungguh Engkau menghendaki agar aku menyaksikannya. Tanpa daya mukjizat dari Engkau, tidak mungkin aku dapat menyaksikannya. Engkau telah mengaruniai aku untuk menyaksikan dan melihat Ibu kembali, sekalipun sudah sangat jauh, sudah dimuliakan dan sudah mulia, seakan Ibu dekat kepadaku. 

Dan melihat Yesus lagi. O, alangkah bahagianya, tanpa aku perkirakan penampakan itu. Ya karunia dari segala karunia Yesus - Allah kepada muridNya Yohanes. Rahmat tertinggi untuk dapat melihat Guru dan Tuhanku lagi. MelihatNya dekat dengan IbuNya. Tuhan Yesus layaknya matahari, dan Bunda Maria bulannya, keduanya sangat indah, karena keduanya mulia dan berbahagia bersatu kembali untuk selamanya. Seperti apakah kiranya Firdaus sekarang ini setelah Engkau berdua bersinar didalamnya. Engkau Bintang-bintang Agung Yerusalem Surgawi ? Betapa indahnya paduan suara para Malaikat dan para kudus.. 

Betapa aku bahagia memperoleh penampakan Bunda Maria dan PutraNya, sesuatu yang menghapus segala penderitaan Yesus, segala penderitaan Yesus dan Bunda Maria, dan bahkan lebih lagi menghapus penderitaanku sendiri; damai sejahtera menggantikannya. Dari ketiga mukjizat yang kumohon kepadaMu ya Allah, dua sudah terlaksana. Aku menyaksikan Bunda Maria hidup kembali, dan kedamaian kembali kepadaku. Segala kekuatiranku berakhir, karena aku telah melihat Engkau bersatu kembali dalam kemuliaan. Terima kasih, ya Allah. Dan terima kasih atas semua itu yang memungkinkan segalanya terlaksana bagiku untuk menyaksikannya.

Dan ciptaanMu, yang paling kudus sekalipun, selagi mereka masih sebagai manusia, apakah yang akan terjadi pada mereka setelah penghakiman terakhir nanti, setelah kebangkitan badan, dan bersatu kembali dengan jiwanya, yang telah naik ke Surga saat mereka meninggal, aku tidak perlu melihatnya untuk percaya, karena aku selalu percaya sepenuh hati setiap Sabda Guruku. Namun banyak orang meragukan hal itu, setelah berabad-abad dan ribuan tahun, daging, yang menjadi debu, dapat hidup kembali. Aku dapat memberitahu mereka, bersumpah dengan penuh khidmat, bahwa bukan hanya Kristus yang hidup kembali, oleh kekuasaan ilahiNya, melainkan juga IbuNya, tiga hari setelah kematiannya - kalau kata mati itu dapat diterapkan padanya - hidup kembali, dan raga serta jiwanya bersatu kembali mengambil tempat abadi di dalam Surga, disamping Putranya. Aku dapat mengatakan : "Percayalah kaum kristiani, pada kebangkitan badan, pada zaman akhir, dan di dalam hidup kekal raga dan jiwa itu, suatu kehidupan bagi seorang kudus yang penuh berkat, dan kehidupan yang mengerikan bagi kaum pendosa yang tanpa mengenal sesal.

 Percayalah dan hiduplah seperti para kudus, hidup seperti Tuhan Yesus dan Bunda Maria, agar memperoleh kebahagiaan yang serupa. Aku melihat mereka naik ke Surga dengan ragaNya, aku berani menjadi saksi akan hal itu. Hiduplah sebagai orang benar, agar pada suatu hari nanti kamu dapat berada di dunia baru yang abadi, dengan raga dan jiwa, dekat dengan Yesus Sang Matahari, dekat dengan Bunda Maria, bintang segala bintang." Terima kasih sekali lagi, ya Allah. Dan sekarang biarkanlah kami untuk mengumpulkan kembali apa yang ditinggalkan oleh Bunda Maria. Bunga-bunga yang terjatuh dari busananya, ranting-ranting zaitun yang masih berserakan di ranjangnya, baiklah kami menyimpannya. Semua itu dapat menjadi ..... ya dapat menjadi kenangan dan penghibur saudara-saudaraku, yang kutunggu-tunggu dengan sia-sia. Cepat atau lambat aku akan bertemu dengan mereka ..."

Yohanes mengambil lembaran-lembaran bunga yang rontok kedalam tunika-nya dan masuk kembali ke dalam ruangan. Lalu ia mengamati lebih cermat celah yang terbuka pada atap dan berseru : "Mukjizat lagi. Suatu mukjizat indah dari kehidupan Tuhan Yesus dan Bunda Maria. Dia, Allah, yang telah bangkit atas kuasaNya sendiri, dan atas kehendak sendiri menggulingkan batu penutup makam, dan hanya oleh kekuasaanNya Ia naik ke Surga. Oleh Yesus sendirilah, Bunda Maria, ibu yang amat suci, putri manusia, dengan bantuan para Malaikat pula ia naik ke Surga, dan dengan ditatang oleh para Malaikat pula ia naik kesana. Dalam hal Kristus, rohNya kembali bersatu dengan TubuhNya ketika Ia masih ada di dalam kubur, karena memang harus demikianlah terjadinya, untuk membungkam musuh-musuhNya dan untuk menguatkan iman pengikut-pengikutNya. Dalam hal Bunda Maria, rohnya datang kembali ketika tubuhnya yang suci telah sampai di kawasan Firdaus, karena memang tidak ada maksud lain baginya. Kekuasaan sempurna dari Kebijaksanaan Allah yang tak mengenal batas ..."

Kini Yohanes mengumpulkan bunga-bunga dan ranting-ranting yang masih ada di ranjang ke dalam kain, dijadikan satu dengan yang ia kumpulkan di luar. Ia membuka selimut yang ada disitu, meletakkan bunga-bunga dan ranting-ranting, bantal kecil Maria dan sepreinya. Lalu ia pergi ke dapur, mengumpulkan alat-alat yang biasa digunakannya - pengantih dan sekocinya, dan alat-alat dapur - dijadikan satu dengan barang-barang lainnya.

Yohanes menutupi dadanya dan duduk di bangku sambil berseru : "Sekarang segala sesuatunya telah terlaksana, juga bagiku. Sekarang aku dapat pergi dengan bebas kemana Roh Allah akan membimbingku. Aku dapat pergi, dan menabur Sabda Ilahi, yang diberikan Guruku kepadaku, agar dapat kuteruskan kepada orang-orang lain dan mengajarkan cinta kasih. Dan mengajar mereka sedemikian rupa sehingga mereka percaya kepada cinta kasih dan kuasa cinta kasih itu. Biarlah manusia mengetahui bahwa cinta kasih Allah lah yang berbuat itu semua bagi manusia. PengurbananNya dan Sakramen serta ibadat yang abadi, yang menjadi sarana sampai akhir zaman, harus membuat kita mampu untuk disatukan dengan Yesus Kristus didalam Ekaristi dan membaharui ibadat dan pengurbanan seperti yang diperintahkan olehNya. Semua itu adalah karunia cinta kasih yang sempurna. Kita jadikan mereka pecinta Cinta Kasih agar mereka percaya kepadaNya, seperti kami pun percaya sejak dulu dan seterusnya. Taburlah Cinta Kasih sedemikian rupa agar panenan dan hasilnya berlimpah bagi Allah. 

Cinta kasih menghasilkan segala sesuatu. Bunda Maria mengajariku dalam percakapan terakhirnya dengan aku, yang ia rumuskan secara tepat berlaku bagi kelompok murid-murid : seorang pecinta mencintai lebih dari yang lain, antitesis Iskariot, si pembenci, seperti watak Petrus, yang meledak-ledak, dan sopan-santun Andreas, kesucian dan kebijaksanaan anak-anak Alpheus disertai tingkah laku yang anggun, dsb. Aku, murid yang mencintai, dan sekarang tidak lagi memiliki Guru dan Ibu untuk dicintai di dunia, akan pergi dan menyebarkan cinta kasih kepada bangsa-bangsa. Cinta kasih merupakan senjataku dan ajaranku. Dan dengan sarana ini aku akan mengalahkan setan, kebencian dan memenangkan banyak jiwa. Dengan demikian aku meneruskan cinta kasih sempurna Yesus dan Maria di dunia ini."

Regards,

Mama Tersayang

Mama Tersayang


Saat ini aku ada di surga, duduk di pangkuan Tuhan. Tuhan sangatlah mengasihiku dan Ia turut menangis bersamaku. Ia menangisi hatiku yang telah dihancurkan. Sebelumnya aku amat diinginkan untuk menjadi seorang gadis kecil. Aku tak begitu mengerti tentang apa yang telah terjadi. Aku dulu begitu senang saat aku mulai menyadari keberadaanku.

Aku ada di dalam tempat yang gelap namun nyaman. Kupandangi jari tangan dan kakiku. Alangkah cantik diriku dalam masa perkembanganku, walaupun belum dekat masanya sampai tibanya saat aku telah siap meninggalkan lingkunganku itu. Aku habiskan sebagian besar waktuku dengan tidur ataupun berfikir. Bahkan pada hari-hari terawal hidupku, aku merasakan hubungan istimewa antara aku dan Mama. Kadang aku mendengar Mama menangis. Kadang-kadang Mama berteriak atau menjerit, lalu menangis.

Kudengar Papa balik berteriak, aku merasa sedih dan berharap bahwa Mama akan segera pulih. Aku berfikir, kenapa kiranya Mama sering menangis. Pernah hampir seharian Mama menangis. Aku turut sedih. Tak dapat kubayangkan kenapa Mama sesedih itu.

Pada hari yang sama, sesuatu yang mengerikan terjadi. Monster yang amat mengerikan memasuki tempat yang hangat dan menyenangkan tempat aku berada. Aku amat takut dan mulai berteriak, namun tak sekalipun engkau mencoba menolongku. Mungkin engkau tak pernah mendengarku. Monster itu dekat dan lebih dekat lagi, sedang aku berteriak dan berteriak lagi, "Mama, Mama ... tolonglah aku; Mama, tolong aku".

Lengkaplah teror yang kualami. Aku berteriak dan berteriak hingga kupikir aku tak mampu lagi melakukannya. Lalu monster itu mengoyakkan lenganku. Amat sakit rasanya, nyerinya tak dapat kuterangkan. Teror itu tak berhenti. Oh, betapa aku memohon kepadanya untuk berhenti. Aku berteriak ngeri saat monster itu mengoyak lepas tungkaiku. Walaupun aku telah mengalami teror seperti itu, aku masih sekarat. Kutahu aku takkan pernah memandang wajah Mama, atau mendengar Mama berkata kepadaku betapa Mama menyayangiku. Aku ingin melenyapkan semua air mata Mama. Kubuat banyak rencana untuk membuat Mama bahagia. Aku tak bisa; seluruh mimpiku telah buyar. Walau aku berada dalam nyeri dan kengerian yang hebat, di atas semuanya aku merasakan nyerinya hatiku yang hancur. Aku tak mengharapkan sesuatu selain menjadi anak Mama.

Tak ada gunanya lagi kini, aku telah mengalami kematian yang menyakitkan. Aku hanya dapat membayangkan hal-hal buruk yang telah mereka buat terhadap diri Mama. Aku ingin memberitahu Mama sebelum aku pergi bahwa aku mencintai Mama, namun aku tak tahu kata-kata apa yang Mama dapat mengerti. Dan segera sesudahnya, aku tak lagi memiliki nafas untuk mengucapkannya; aku mati.
Aku merasakan kebangkitan diriku. Aku dihantar oleh malaikat memasuki tempat besar yang indah. Aku masih menangis, namun sakit fisik kini telah lenyap.

Malaikat itu membawaku kepada Tuhan, lalu meletakkanku di pangkuanNya. Ia berkata bahwa Ia mencintaiku, dan bahwa Ia adalah Bapaku. Maka aku gembira. Aku menanyakan apakah kiranya yang telah membunuhku. Ia menjawab, "Aborsi. Aku menyesal, anakKu; sebab Aku tahu bagaimana rasanya." Aku tak tahu apa itu aborsi; kupikir itu adalah nama dari monster tadi.

Aku menulis untuk mengatakan aku mencintai Mama dan untuk memberitahu Mama betapa inginnya aku menjadi gadis kecil Mama. Aku telah berjuang keras untuk hidup. Aku ingin hidup. Aku punya kemauan itu, tapi aku tak sanggup; monster itu terlampau kuat. Monster itu telah menyedot lepas lengan dan tungkaiku, kemudian seluruh diriku. Tak mungkin untuk hidup.

Aku ingin Mama tahu bahwa aku telah berjuang untuk tetap tinggal bersama Mama. Aku tak ingin mati. Mama, tolong awasi pula si monster aborsi. Mama, aku sayang Mama. Dan aku juga tak suka Mama mengalami nyeri seperti yang telah kualami. Tolong hati-hati.

Dengan Cinta,
Bayi Perempuanmu

Kisah Seorang Opa

Kisah Seorang Opa
Suatu hari seorang teman saya pergi ke rumah orang jompo atau lebih terkenal dengan sebutan panti werdha bersama dengan teman-temannya. kebiasaan ini mereka lakukan untuk lebih banyak mengenal bahwa akan lebih membahagiakan kalau kita bisa berbagi pada orang-orang yang kesepian dalam hidupnya.

Ketika teman saya sedang berbicara dengan beberapa ibu-ibu tua, tiba-tiba mata teman saya tertumpu pada seorang opa tua yang duduk menyendiri sambil menatap kedepan dengan tatapan kosong.

Lalu sang teman mencoba mendekati opa itu dan mencoba mengajaknya berbicara. Perlahan tapi pasti sang opa akhirnya mau mengobrol dengannya sampai akhirnya si opa menceritakan tentang kisah hidupnya. Si opa memulai cerita tentang hidupnya sambil menghela napas panjang. Sejak masa muda saya menghabiskan waktu saya untuk terus mencari usaha yang baik untuk keluarga saya, khususnya untuk anak-anak yang sangat saya cintai. Sampai akhirnya saya mencapai puncaknya dimana kami bisa tinggal dirumah yang sangat besar dengan segala fasilitas yang sangat bagus.

Demikian pula dengan anak-anak saya, mereka semua berhasil sekolah sampai keluar negeri dengan biaya yang tidak pernah saya batasi. Akhirnya mereka semua berhasil dalam sekolah juga dalam usahanya dan juga dalam berkeluarga.

Tibalah dimana kami sebagai orangtua merasa sudah saatnya pensiun dan menuai hasil panen kami. Tiba-tiba istri tercinta saya yang selalu setia menemani saya dari sejak saya memulai kehidupan ini meninggal dunia karena sakit yang sangat mendadak. Lalu sejak kematian istri saya tinggallah saya hanya dengan para pembantu kami karena anak-anak kami semua tidak ada yg mau menemani saya karena mereka sudah mempunyai rumah yang juga besar.

Hidup saya rasanya hilang, tiada lagi orang yang mau menemani saya setiap saat saya memerlukannya. Tidak sebulan sekali anak-anak mau menjenguk saya ataupun memberi kabar melalui telepon. Lalu tiba-tiba anak sulung saya datang dan mengatakan kalau dia akan menjual rumah karena selain tidak effisien juga toh saya dapat ikut tinggal dengannya. Dengan hati yang berbunga saya menyetujuinya karena toh saya juga tidak memerlukan rumah besar lagi tapi tanpa ada orang-orang yang saya kasihi di dalamnya.

Setelah itu saya ikut dengan anak saya yang sulung. Tapi apa yang saya dapatkan? setiap hari mereka sibuk sendiri-sendiri dan kalaupun mereka ada dirumah tak pernah sekalipun mereka mau menyapa saya. Semua keperluan saya pembantu yang memberi. Untunglah saya selalu hidup teratur dari muda maka meskipun sudah tua saya tidak pernah sakit2an. Lalu saya tinggal dirumah anak saya yang lain. Saya berharap kalau saya akan mendapatkan sukacita didalamnya, tapi rupanya tidak. Yang lebih menyakitkan semua alat-alat untuk saya pakai mereka ganti, mereka menyediakan semua peralatan dari kayu dengan alasan untuk keselamatan saya tapi sebetulnya mereka sayang dan takut kalau saya memecahkan alat-alat mereka yang mahal-mahal itu. Setiap hari saya makan dan minum dari alat-alat kayu atau plastik yang sama dengan yang mereka sediakan untuk para pembantu dan anjing mereka.

Setiap hari saya makan dan minum sambil mengucurkan airmata dan bertanya dimanakah hati nurani mereka? Akhirnya saya tinggal dengan anak saya yang terkecil, anak yang dulu sangat saya kasihi melebihi yang lain karena dia dulu adalah seorang anak yang sangat memberikan kesukacitaan pada kami semua. Tapi apa yang saya dapatkan? setelah beberapa lama saya tinggal disana akhirnya anak saya dan istrinya mendatangi saya lalu mengatakan bahwa mereka akan mengirim saya untuk tinggal di panti jompo dengan alasan supaya saya punya teman untuk berkumpul dan juga mereka berjanji akan selalu mengunjungi saya.

Sekarang sudah 2 tahun saya disini tapi tidak sekalipun dari mereka yang datang untuk mengunjungi saya apalagi membawakan makanan kesukaan saya. Hilanglah semua harapan saya tentang anak-anak yang saya besarkan dengan segala kasih sayang dan kucuran keringat. Saya bertanya-tanya mengapa kehidupan hari tua saya demikian menyedihkan padahal saya bukanlah orangtua yang menyusahkan, semua harta saya mereka ambil. Saya hanya minta sedikit perhatian dari mereka tapi mereka sibuk dengan diri sendiri. Kadang saya menyesali diri mengapa saya bisa mendapatkan anak-anak yang demikian buruk. Masih untung disini saya punya teman-teman dan juga kunjungan dari sahabat-sahabat yang mengasihi saya tapi tetap saya merindukan anak-anak saya.

Sejak itu teman saya selalu menyempatkan diri untuk datang kesana dan berbicara dengan sang opa. Lambat laun tapi pasti kesepian di mata sang opa berganti dengan keceriaan apalagi kalau sekali-sekali teman saya membawa serta anak-anaknya untuk berkunjung. Sampai hatikah kita membiarkan para orangtua kesepian dan menyesali hidupnya hanya karena semua kesibukan hidup kita. Bukankah suatu haripun kita akan sama dengan mereka, tua dan kesepian?


sumber dari sebuah buku tua.


Senin, 13 Agustus 2012

Cerita Sedih Seorang Ayah

25 tahun yang lalu,
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan.
Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami
ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam
tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa
sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa d! an salam
sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur
karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku
sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku..
Cita-cita kami sederhana,ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu,
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan
keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya
momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia
bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi
baik hingga dia tampak ! sempurna. Kulitnya masih merah,
mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak
dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus
bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak
mau menerima kami.. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk
memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin,
suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.


19 tahun yang lalu,
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke
kursi la! lu dari kursi ke lantai kemudian berteriak
‘Horeee, Iya bisa terbang’. Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu
merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak
jarang berteriak, ‘Iya sayaaang,’ jika sudah
terdengar suara ‘Prang’. Itu artinya, ada yang
pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca..
Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat
dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma bilang ‘Kenapa semua kaca di
rumah ini selalu pecah, Ma?’

18 tahun yang lalu,
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin
lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak
membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi
jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya.
‘Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain
bola!’ tapi aku tidak suka dia menangis terus minta
bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku
bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang
sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola
itu. ‘Horee, Iya jadi pemain bola.’

17 Tahun yang lalu
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan.
Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak
akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak
tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku
tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari
sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola
sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah
jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku
mengalahkan kehati-hatianku dan ‘Iyaaaa’. Sebuah
truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya
berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku
sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang
kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku
bekerja sementara
pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah
konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata
‘Coba kalau kamu tak belikan ia bola!’

15 tahun yang lalu,
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan
menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya
mulai banyak dibe! ntak. Aku hanya bisa membelainya. Dan
bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat
marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku
tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar
negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk
mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan
dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia
memang pergi ke Malaysia .

13 tahun yang lalu,
Setahun sejak keper! gian Kania, keuangan rumahku sedikit
membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar
kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk
SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya.
Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa
melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan
pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku
miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh
remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku
harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup
tegar.

10 tahun yang lalu,
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku.
Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu
sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan
hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya.
‘Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.’ Mungkin
itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar
dia tidak marah walau tak urung menangis juga.
‘Sabar ya, Nak!’ hiburku.
‘Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak
diganggu!’ pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku
maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam
hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari
kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah
semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak
pernah menunjukkan
kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di
bangku SMP.!

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,
kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar
kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika
aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang
membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
TKI ke Malaysia . Sulit baginya mencari pekerjaan di sini
yang cuma lulusan SMP.. Haruskah aku melepasnya karena
alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai
habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan
rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah
itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha
kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak
kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku
baik-baik saja.

4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat ! mengirimi aku uang. Hampir tiga
tahun dia di sana . Dia bekerja sebagai seorang pelayan di
rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka dengan
laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan
sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu
adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah
ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu.
Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca
dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu
hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa
salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat
tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti
setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin
untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih
pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
pemerintahan Malaysia , kabarnya anakku ditahan. Dan dia
diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami
majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis,
aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin
membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta
bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari
maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku
selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku
hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia
memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah.
Dan dia harus menjalani ! hukuman gantung sebagai
balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis
sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya
tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah
keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri.
Wahai Allah kuatkan aku.
Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia .
Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya.
Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak.
Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada.. Aku
masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke
arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
‘Bapak, Iya Takut!’ aku memeluknya lebih erat
lagi. Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya.
‘Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?’
‘Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya
tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia
jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan
, Pak!’ Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib
anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa
apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku
dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat.
Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku,
tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di
Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita
itu.

2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan
hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah
datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya.
Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana . Petugas itu
membuka papan yang diinjak anakku. Dan ‘blass’
Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis.
Setelah yakin suda! h mati, jenazah anakku diturunkan
mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku.
Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku
mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air
mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
‘Kania?’
‘Mas Har, kau … !’
‘Kau … kau bunuh anakmu sendiri, Kania!’
‘Iya? Dia..dia . Iya?’ serunya getir menunjuk
jenazah anakku.
‘Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola
jika sudah besar.’
‘Tidak … tidaaak … ‘ Kania berlari ke arah
jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit
histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan
secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia
diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya ‘Terima kasih
Mama.’ Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah
tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku.
Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir
kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan
di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang
mengantarkan
jenazahnya padaku, dia sering berteriak, ‘Iya
sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.’ Kamu tahu Kania,
kali ini yang pecah adalah hatiku.

Sumber: www.indoforum.org

Sebuah Kisah Kasih

Suatu hari, aku bangun dini hari untuk menyaksikan sang surya terbit. Dan keindahan karya ciptaan Tuhan sungguh tak terlukiskan. Sementara aku mengaguminya, aku memuliakan Tuhan oleh karena karya-Nya yang mempesona. Sementara aku duduk di sana, aku merasakan kehadiran Allah dalam diriku.
Ia bertanya kepadaku,
“Apakah engkau mengasihi Aku?”
Aku menjawab, “Tentu saja Tuhan! Engkaulah Allah dan Juruselamat-ku!”
Kemudian Ia bertanya,
“Seandainya engkau cacat jasmani, apakah engkau akan tetap mengasihi Aku?”
Aku terpana. Aku memandangi tanganku, kakiku dan seluruh bagian tubuhku yang lain sambil memikirkan betapa banyak pekerjaan yang tidak akan dapat aku lakukan, pekerjaan-pekerjaan yang selama ini aku anggap biasa. Dan aku menjawab, “Akan sangat berat Tuhan, tetapi aku akan tetap mengasihi Engkau.”
Kemudian Tuhan berkata,
“Seandainya engkau buta, apakah engkau akan tetap mengagumi ciptaan-Ku?” Bagaimana aku dapat mengagumi sesuatu tanpa dapat melihatnya? Kemudian pikiranku melayang kepada orang-orang buta di muka bumi ini dan betapa banyak di antara mereka yang mengasihi Tuhan dan mengagumi ciptaan-Nya. Jadi aku menjawab, “Sulit dibayangkan Tuhan, tetapi aku akan tetap mengasihi Engkau.”
Kemudian Tuhan bertanya kepadaku,
“Seandainya engkau tuli, apakah engkau akan tetap mendengarkan firman-Ku?”
Bagaimana aku dapat mendengar jika aku tuli? Aku tersadar, mendengarkan Firman Tuhan tidak hanya dengan telinga, tetapi dengan hati. Maka aku menjawab, “Akan sangat berat, Tuhan, tetapi aku akan tetap mendengarkan firman-Mu.”
Kemudian Tuhan bertanya,
“Seandainya engkau bisu, apakah engkau akan tetap memuliakan Nama-Ku?”
Bagaimana aku dapat memuji tanpa bersuara? Lalu menjadi jelas bagiku: Tuhan menghendaki kita menyanyi dari kedalaman hati dan jiwa kita. Tidak jadi soal apakah suara kita terdengar sumbang. Dan memuliakan Tuhan tidak selalu dengan nyanyian, tetapi dengan berbuat baik kita menyampaikan pujian kepada Tuhan dengan ucapan syukur. Jadi aku menjawab, “Meskipun aku tidak dapat melantunkan nyanyian pujian, aku akan tetap memuliakan Nama-Mu.”
Dan Tuhan bertanya, “Apakah engkau sungguh mengasihi Aku?”
Dengan tegas dan penuh keyakinan, aku menjawab lantang, “Ya Tuhan! Aku mengasihi Engkau karena Engkaulah satu-satunya Allah yang Benar.”
Aku pikir aku telah menjawab dengan benar, tetapi ….
Tuhan bertanya, “JIKA DEMIKIAN, MENGAPA ENGKAU BERDOSA?”
Aku menjawab, “Karena aku hanyalah seorang manusia yang tidak sempurna.”
“JIKA DEMIKIAN, MENGAPA PADA SAAT SUKA ENGKAU MENYIMPANG JAUH?
MENGAPA HANYA PADA SAAT DUKA SAJA ENGKAU BERDOA DENGAN KHUSUK?”
Tidak ada jawaban. Hanya air mata.
Tuhan melanjutkan:
“Mengapa melantunkan pujian hanya di gereja dan di tempat-tempat retret?
Mengapa datang kepada-ku hanya pada saat doa?
Mengapa meminta dengan demikian egois?
Mengapa tidak setia?”
Air mata mengalir jatuh di pipiku.
“Mengapa engkau malu akan Aku?
Mengapa engkau tidak mewartakan Kabar Sukacita?
Mengapa pada saat aniaya engkau berpaling kepada yang lain sementara Aku menyediakan punggung-Ku untuk memikul bebanmu?
Mengapa mengajukan alasan-alasan ketika Aku memberimu kesempatan untuk melayani dalam Nama-Ku?”
Aku berusaha menjawab, tetapi tidak ada jawab yang keluar.
“Engkau dikaruniai hidup. Aku menciptakan engkau, jangan sia-siakan hidupmu.
Aku memberkati engkau dengan talenta-talenta untuk melayani Aku, tetapi engkau senantiasa menghindar.
Aku telah menyingkapkan rahasia Firman-Ku kepadamu, tetapi pengetahuanmu tidak bertambah.
Aku berbicara kepadamu, tetapi telingamu tertutup rapat.
Aku menunjukkan belas kasih-Ku kepadamu, tetapi matamu tidak melihat.
Aku mengirimkan penolong-penolong bagimu, tetapi engkau duduk berpangku tangan sementara mereka engkau singkirkan.
Aku mendengarkan doa-doamu dan Aku telah menjawab semuanya.”
“APAKAH ENGKAU SUNGGUH MENGASIHI AKU?”
Aku tidak mampu menjawab. Bagaimana mungkin? Aku amat malu.
Aku tidak punya penjelasan. Apa yang dapat aku katakan?
Ketika hatiku menjerit dan air mata telah membanjir, aku berkata,
“Ampuni aku, Tuhan. Aku tidak layak menjadi anak-Mu.”
Tuhan menjawab, “Itu Rahmat, Anak-Ku.”
Aku bertanya, “Jika demikian, mengapa Engkau terus-menerus mengampuni aku? Mengapa Engkau demikian mengasihi aku?”
Tuhan menjawab, “Karena engkau adalah Ciptaan-Ku. Engkau adalah Anak-Ku. Aku tidak akan meninggalkan engkau.”
Jika engkau menangis, hati-Ku hancur dan Aku akan menangis bersamamu.
Jika engkau bersorak kegirangan, Aku akan tertawa bersamamu.
Jika engkau putus asa, Aku akan menyemangatimu.
Jika engkau jatuh, aku akan mengangkatmu.
Jika engkau lelah, Aku akan menggendongmu.
Aku akan menyertaimu sampai akhir jaman, dan Aku akan selalu mengasihimu selamanya.”
Belum pernah aku menangis sedemikian pilu sebelumnya.
Bagaimana mungkin aku bersikap dingin dan beku selama ini?
Bagaimana mungkin aku melukai hati-Nya dengan segala kelakuanku? Aku bertanya kepada Tuhan, “Berapa besar Engkau mengasihi aku, Tuhan?”
Tuhan merentangkan kedua belah tangan-Nya, dan aku melihat tangan-Nya yang berlubang tertembus paku.
Aku bersimpuh di kaki Kristus, Juruselamat-ku.
Dan untuk pertama kalinya aku berdoa dengan segenap hati.

Anonim
YESAYA: www.indocell.net/yesaya

Kisah Kasih Duniamu

"…apalah arti sebuah kisah bila tidak ada kasih di dalamnya…"

Dikisahkan, Pada suatu ketika, Tuhan ingin sekali tahu bagaimana jika semua makhluk tersebut diberi kesempatan memilih hidup sekali lagi, ingin menjadi apakah masing-masing dari mereka? Maka, Tuhan pun bertanya kepada semua makhluk ciptaan-Nya.

Jawaban Tikus, “Jika diberi kesempatan memilih, aku ingin menjadi kucing. Enak jadi kucing, dia bisa bebas merdeka berada di dapur, disediakan makanan, susu, dan dielus-elus oleh manusia.”
Kucing menjawab, “Kalau bisa memilih, aku ingin jadi tikus. Kepandaian tikus mengelilingi lorong-lorong rumah membuat orang serumah kewalahan, dan tikus bahkan bisa mencuri makanan yang tidak bisa aku santap. Hebat sekali menjadi seekor tikus.”
Jawabnya Ayam, “Pasti aku ingin menjadi seekor elang. Lihatlah langit di atas sana , elang tampak begitu perkasa mengepakkan sayapnya yang indah di angkasa luas, membuat semua makhluk iri, ingin menjadi seperti dirinya. Tidak seperti diriku, setiap hari mengais makanan, terkurung dan tidak memiliki kebebasan
sama sekali.”

Kalo Elang Jawab, “Aku mau menjadi seekor ayam. Ayam tidak perlu bersusah payah terbang kesana-kemari untuk mencari mangsa. Setiap hari sudah disediakan makanan oleh petani, diberi suntikan untuk mencegah penyakit, dan ayam begitu terlindung di dalam kandang yang nyaman, bebas dari hujan dan panas.”

Saat pertanyaan yang sama diberikan pada manusia, ternyata perempuan dan lelaki pun memberikan jawaban yang beda.

Si Perempuan menjawab, “Saya ingin menjadi laki-laki. Pemimpin besar dan yang hebat-hebat adanya pasti di dunia laki-laki, Menjadi perempuan sangatlah menderita, harus selalu melayani, bertarung nyawa melahirkan anak, kemudian membesarkan mereka, ini adalah pekerjaan yang sangat melelahkan.”
Kaum Lelaki jawabnya, “Aku mau jadi perempuan. Halus budi bahasanya, tidak perlu bekerja keras menghidupi keluarga, selalu disayang, dilindungi dan dimanjakan. Ingat, tidak ada pahlawan yang lahir tanpa seorang perempuan, surga saja ada di bawah telapak kaki ibu atau perempuan.”
Setelah mendengar semua jawaban para mahluk ciptaan-Nya, Tuhan pun memutuskan tidak memberi kesempatan untuk memilih lagi. Maka, setiap makhluk akan kembali menjadi makhluk yang sama.

Pembaca yang berbahagia,

Ada pepatah yang mengatakan, “Rumput tetangga selalu lebih hijau dibandingkan dengan rumput di kebun sendiri.” Hal tersebut sejalan dengan kisah di atas. Memang, tak bisa dipungkiri jika manusia kadang justru lebih sering memikirkan kelebihan, kebahagiaan, dan kesuksesan orang lain. Hal ini membuat orang acap
kali mengabaikan apa yang sudah dimilikinya. Tak heran, jika pikiran selalu dipenuhi dengan perasaan tersebut, maka hidup akan selalu menderita akibat terbiasa selalu membanding-bandingkan. Padahal, tahukah kita jika orang yang kita pikirkan justru mungkin berpikir sebaliknya?

Maka, dengan mampu menerima dan bersyukur apa adanya atas apapun yang kita miliki adalah kebijaksanaan. Dan, bisa ikut berbahagia melihat kebahagiaan dan kesuksesan orang lain adalah kekayaaan mental.

Mari, cintai apa yang kita miliki, hidup pasti akan lebih berarti. Maka, kita akan bisa menyongsong kegembiraan dan kebahagiaan sejati. 

Sumber: Anirmana